Kemarin sore........., habis bubaran kantor aku iseng meluncurkan mobilku yang butut itu menyusuri jalan protokol yang (kebetulan) cukup sepi, jam Tissot yang mejeng di pergelangan lengan kiri tepat menunjukkan pukul 17.30, suasana mendung, cukup tebal bahkan....., biasanya bila cuaca seperti ini adalah sebuah pertanda bahwa tidak lama lagi akan terjadi hujan.
Meskipun ada sebuah slogan yang mengatakan bahwa mendung tidak berarti hujan, tapi benar saja, belum genap 1 km perjalanan tiba - tiba saja hujan turun lebat sekali, ini akan menjadi sebuah siksaan buat sopir yang mobilnya tanpa AC seperti mobilku...., suhu luar yang terlalu dingin di banding suhu dalam mobil akan menciptakan embun pada permukaan kaca bagian dalam. Keadaan seperti ini menjadikan pandangan jadi tidak jelas lagi, akan sangat merepotkan apa bila menyetir sambil terus ngelap-ngelap kaca seperti ini, bisa-bisa dibilang orang, "itu orang ngapain nyetir mobil sambil nari-nari", gak mutu banget.
Tepat didepan sebuah warung soto saya putuskan untuk berhenti, "Sambil numpang berteduh tidak ada salahnya bila nunggu hujan reda sambil menikmati soto dan segelas teh hangat", gumamku pada diri sendiri.
Ternyata cukup banyak juga pengunjung warung soto itu, kemungkinan mereka adalah orang yang senasib denganku, sama-sama pengunjung warung yang terpaksa masuk warung karena hujan. Sepertinya rata-rata dari kalangan Pegawai Negeri Sipil, itu terlihat dari seragam yang dikenakan, atas bawah warna khaky dengan emblem sebuah logo pemerintah daerah yang melekat di lengan bajusebelag kananya.
Kuperhatikan seorang yang sepertinya masih cukup muda, usianya sekitar 25 an tahun, dari sekian pengunjung warung ini seprtinya orang ini yang agak sedikit beda, raut wajahnya seperti lagi kurang nyaman, terlihat dari sikapnya yang tidak biasa, seperti sedang kesal, atau terburu-buru. "Monggo Mas...."' tiba-tiba orang itu mengangguk padaku, aku sedikit kaget karena tanpa saya sadari orang itupun lagi memandang ke arahku tempatku duduk. "Njih...monggo, jawohipun radi deres njih?", jawabku dengan sopan.
Sambil menunggu soto pesananku datang, dengan sapu tangan yang kuambil dari saku celana aku mengelap muka dan lengan yang sempat basah karena tetesan air hujan tadi.
"Masa beli peralatan kantor hampir tiap hari..........", tiba-tiba orang yang aku perhatikan tadi berkata dengan suasana hati yang sedikit kesal, penyebabnya aku tidak tahu, mungkin itu hanya masalah pekerjaan di kantornya saja.
" Mungkin memang alat itu harus di beli, buat kantor kan ya mendukung kelancaran pekerjaan toh?", jawab temennya dengan nada yang kalem.
"Yang jadi masalah adalah barang yang dibeli dan nama barang yang tercantum di nota pembelian itu tidak pernah ada sama sekali....dongo!", tambahnya dengan tetap bernada sewot.
"Yang aku herankan kenapa pula aku harus ikut tanda tangan?, aku kan cuma pegawai rendahan, tapi kok kayaknya begitu pentingnya tanda tangan aku buat boss aku..", imbuhnya dengan ekpresi menahan kekesalan.
"Semoga aja uang hasil pencairan pembelian fiktif itu tidak kemakan anak-anaknya, karena itu sama saja memasukkan api ke perutnya", katanya dengan nada sedikit pasrah sepertinya untuk menghibur diri.
Aku masih belum ngerti kata-kata Mas yang tadi, tanda tangan tiap hari......., nota paslu....., pembelian fiktif......., apa masudnya ya?
"Monggo Mas sotonipun, meniko sambelipun, menawi mbetahaken kecap ten botol ingkang setunggalipun........monggo dipun sekecak aken", tiba-tiba tukang penjual soto tadi sudah ada di depan mejaku sambil membawa soto pesenanku, jiahhhhhhhhhhh rupanya aku ngelamunin omongan bapak PNS tadi.
Perhatianku mulai beralih pada semangkuk soto yang kini sudah ada dihadapanku, dan siap untuk ku santap, tapi...., "Wowww.............opo iki?", aku hampir terlompat ketika melihat isi sajian soto pesenanku, dengan mata telanjangpun seorang anak kecil bisa menebak bahwa yang tersaji itu adalah gelintiran masakan alat kelamin hewan, "Opo iki pak...?" kataku sambil setengah teriak pada si penjual soto tadi.
Kurasakan ada sebuah tepukan halus pada bahu kananku yang membuatku secara reflek menengok kebelakang, sekedar memastikan siapa orang yang sudah menepuk bahuku tadi, rupanya seorang Bapak-bapak paro baya, sambil tersenyum dia menunjuk ke arah papan nama yang tulisannya cukup besar, "SOTO KTL", sambil mendekat Bapak tadi berbisik di telinga kananku "soto kontol".
Orang-orang di sekitarku mendadak tertawa, ada yang sampai terbahak-bahak melihat ke luguanku terhadap masakan yang tergolong unik ini.
yah, dunia...dunia........